![]() |
Badan Registrasi Wilayah Adat Rilis Status Pengakuan Wilayah Adat Kalimantan Barat. |
Batubertulisnews.com, Sekadau- Badan Registrasi Wilayah Adat Rilis Status Pengakuan Wilayah Adat Kalimantan Barat. Kegiatan tersebut dihadiri perwakilan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Kalimantan Barat, perwakilan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Provinsi Kalimantan Barat, organisasi masyarakat sipil (CSO), dan Lembaga yang bergerak pada advokasi untuk Masyarakat adat duduk berdampingan.
Tujuannya yakni untuk membahas sejauh mana perjuangan panjang pengakuan wilayah adat telah berjalan, dan strategi untuk mempercepat langkah pengakuan, perlindungan dan pemberdayaan di masa depan.
Kasmita Widodo, Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) Pusat, memaparkan data terkini yang menunjukkan capaian signifikan sekaligus tantangan besar di Kalimantan Barat. “Hingga saat ini, kami mencatat sekitar 2,9 juta hektar wilayah adat telah dipetakan, tersebar di 10 kabupaten/kota. Dari luasan tersebut, 52 masyarakat hukum adat sudah resmi mendapatkan penetapan hukum, dengan total luas 676.079 hektar berdasarkan data yang ada di BRWA,” ujarnya .
Namun, jalan menuju pengakuan penuh masih panjang. Sebanyak 292 wilayah adat dengan luas 2.120.402 hektar masih berada di tahap pengaturan—yakni sudah memiliki payung hukum daerah yang mengatur tata cara pengakuan, tetapi belum ada penetapan formal dari pemerintah daerah contohnya ialah Kabupaten Bengkayang yang saat ini sudah memilik Perda namun belum ada satupun pengakuan terhadap Masyarakat hukum adat.
Kapuas Hulu menjadi kabupaten dengan wilayah adat terbesar, mencapai 1.560.337 hektar dengan 19 penetapan. Menyusul di belakangnya Ketapang (525.669 ha, 3 penetapan) dan Sekadau (249.005 ha, 3 penetapan). Kabupaten seperti Landak, Melawi, Bengkayang, Sanggau, dan Sintang juga mencatat kemajuan, walaupun berada pada tingkat pengakuan yang bervariasi.
Jika dilihat secara nasional, capaian ini baru mewakili 18,9% dari total potensi 37,5 juta hektar wilayah adat di seluruh Indonesia yang sudah terverifikasi dan diakui secara formal. Fakta ini mengingatkan bahwa pekerjaan besar masih menanti.
Kasmita Widodo menegaskan bahwa update data BRWA selalu rutin dilaksanakan dibulan maret bertepatan dengan Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara dan dibulan Agustus bertepatan dengan Peringatan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia.
“Ini momen yang baik untuk melihat sejauh mana capaian kita. Tentu ini bukan kerja sendiri, melainkan kolaborasi—baik dengan CSO maupun pemerintah di tingkat nasional dan daerah. Bahkan Menteri Kehutanan sudah menetapkan Satgas Penetapan Hutan Adat, di mana BRWA , Aman dan WALHI ikut terlibat. Ke depan, sektor swasta juga perlu dilibatkan karena tidak semua kebutuhan bisa dipenuhi hanya dari anggaran pemerintah atau donor,” jelasnya.
Perwakilan DLHK Kalimantan Barat menambahkan bahwa data yang ada masih perlu dilengkapi. “Belum semua perda masuk dalam catatan, jadi kita harap pertemuan ini bisa jadi wahana untuk saling melengkapi data. Ini sifatnya kolaborasi, bukan klaim sepihak. Data yang dikumpulkan BRWA bersama pemerintah dapat menjadi database bersama, asalkan semua pihak mau berbagi,” ungkapnya.
Ia menekankan bahwa keterbatasan SDM di instansi pemerintah membuat peran masyarakat adat dan mitra pendamping menjadi sangat penting.
Setiyo Haryani kepala Bidang Rehabilitasi dan Pemberdayaan Masyarakat juga menyoroti bahwa sekitar 57% wilayah adat di Kalbar berada di kawasan hutan, sehingga koordinasi dengan Kementerian LHK menjadi krusial. Masyarakat dapat mengusulkan wilayah yang memiliki fungsi perlindungan untuk ditetapkan secara formal, seperti yang dilakukan di beberapa kabupaten. Namun, ia mengingatkan, ada SK penetapan yang setelah keluar tidak diikuti progres lanjutan—ini perlu dihindari dengan memastikan kelembagaan dan pendanaan berjalan.
Perwakilan WALHI Kalimantan Barat, Andre, mengapresiasi perjuangan panjang organisasi masyarakat sipil dan komunitas adat. “Kita punya peta luas, tapi pengakuan formalnya masih rendah. Ada wilayah yang sudah dipatok dan diakui komunitas, tapi belum tercatat di pemerintah. Yang penting adalah memastikan akses dan hak masyarakat tidak diabaikan, walau mereka berada di kawasan hutan atau area yang sudah berizin,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa proses menuju hutan adat sering kali lebih kecil skalanya dibanding potensi wilayah adat yang ada, sehingga strategi dan skema harus disesuaikan dengan konteks komunitas.
Diskusi tersebut juga menyoroti empat faktor kunci keberhasilan pengakuan wilayah adat:
1. Kepemimpinan dan kebijakan kepala daerah yang proaktif.
2. Kelembagaan permanen dengan dukungan regulasi dan anggaran.
3. Kapasitas teknis untuk verifikasi dan validasi.
4. Kolaborasi lintas pihak—termasuk sektor swasta di masa depan.
Pertemuan ditutup dengan seruan untuk memperkuat pembaruan data, memanfaatkan platform daring registrasi wilayah adat, serta pendampingan teknis bagi pemerintah daerah. Harapannya, dalam beberapa tahun ke depan, pengakuan wilayah adat di Kalimantan Barat dapat meningkat signifikan—menjadi pijakan kuat perlindungan hak dan keberlanjutan masyarakat adat.
Status pengakuan wilayah adat di kalimantan barat telah rilis secara resmi di Website BRWA https://brwa.or.id
Narahubung.Lorensius Tatang (089622351607)
Email: Brwakalbar2010@gmail.com