![]() |
| Adrianus Asia Sidot saat menghadiri diskusi akademik berskala besar di Kampus II Universitas Katolik Santo Agustinus Hippo Pontianak, Kamis, 4 Desember 2025. |
Batubertulisnews.com, Pontianak - Gagasan pembentukan kembali haluan negara — topik yang terus menggema di ruang publik nasional — kembali mencuat dalam sebuah diskusi akademik berskala besar di Kampus II Universitas Katolik Santo Agustinus Hippo Pontianak, Kamis, 4 Desember 2025.
Sebanyak 150 peserta dari unsur mahasiswa, dosen, tenaga pendidikan, hingga staf internal memadati ruangan, menjadikan forum ini bukan sekadar kegiatan ilmiah, melainkan panggung intelektual bagi masa depan sistem ketatanegaraan Indonesia.
Dua narasumber nasional dihadirkan, di antaranya Dr. Drs. Adrianus Asia Sidot, M.Si Anggota DPR/MPR RI dan Brigjen. Pol. (Purn) Drs. Sumirat Dwiyanto, M.Si., yang juga Wakil Rektor Universitas Katolik Santo Agustinus Hippo.
Keduanya mengurai dari sudut pandang berbeda terkait urgensi penguatan kembali kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk menetapkan haluan negara—konsep yang pernah dikenal sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
MPR Pasca Reformasi: Dari Lembaga Tertinggi ke Lembaga Penjaga Konstitusi
Dalam pemaparannya berjudul “Menggagas Kembali Peran Strategis MPR dalam Pembentukan Haluan Negara”, Dr. Adrianus menegaskan bahwa perubahan struktur ketatanegaraan setelah reformasi menyebabkan arah pembangunan nasional sangat bergantung pada visi-misi Presiden terpilih.
Ketergantungan ini, menurutnya, menghadirkan konsekuensi serius. “Kita tidak bisa menjamin keberlanjutan pembangunan jika arah negara berubah setiap lima tahun. Haluan negara baru harus bersifat makro-strategis dan melintasi rezim — tanpa mencederai kewenangan Presiden sebagai pemegang mandat rakyat,” tegas Adrianus.
Dengan kata lain, haluan negara dianggap perlu untuk mencegah inkonsistensi dan pemborosan sumber daya pembangunan nasional.
Peringatan Demokrasi: Jangan Sampai MPR Kembali Menjadi Superbody
Sebaliknya, Brigjen. Pol. (Purn) Drs. Sumirat Dwiyanto menawarkan sudut pandang yang lebih waspada melalui makalah berjudul “Menimbang Kembali Kewenangan MPR: Urgensi dan Konsekuensinya bagi Demokrasi.”
Ia mengingatkan bahwa mengembalikan kewenangan MPR harus dilakukan dengan sangat hati-hati. “Jika haluan negara bersifat mengikat dan wajib diikuti Presiden, kita berisiko menciptakan demokrasi semu. Mandat elektoral rakyat dapat tereduksi oleh keputusan politik MPR,” ujarnya.
Menurutnya, persoalan bukan sekadar soal substansi haluan negara, tetapi juga keseimbangan kekuasaan antar lembaga negara, salah satu pilar utama demokrasi modern.
Gesekan Gagasan di Tengah Antusiasme Peserta
Diskusi berlangsung dengan sesi tanya jawab tajam. Salah satu peserta mempertanyakan potensi bertentangan dengan sistem presidensial.
Adrianus menanggapi lugas. “Selama dirancang dalam kerangka demokrasi konstitusional dan sifatnya strategis, haluan negara justru memperkuat kesinambungan pembangunan — bukan melemahkan sistem presidensial.”
Isu sentralisasi kekuasaan seperti masa Orde Baru juga mencuat. Kekhawatiran ini dijawab narasumber dengan penekanan pada pengawasan demokratis, mekanisme evaluasi berkala, dan tetap mempertahankan pemilu langsung.
Simbol Kegelisahan Publik terhadap Arah Pembangunan Nasional
Diskusi menghasilkan benang merah penting. Meski GBHN telah dihapus, kebutuhan akan peta pembangunan jangka panjang yang kokoh, konsisten, dan bebas kepentingan jangka pendek tetap menjadi tuntutan kuat masyarakat. Namun seluruh gagasan penguatan kewenangan MPR tetap harus melalui kajian akademik dan konstitusional yang mendalam, melibatkan partisipasi publik luas dan tidak bertentangan dengan semangat demokrasi dan reformasi 1998.
Forum ini membuktikan bahwa kampus masih menjadi oase dialektika konstitusi, tempat gagasan besar diuji bukan hanya secara teoritis, tetapi juga melalui keberanian kritis generasi muda.
Di tengah dinamika politik yang terus bergeser, diskusi ini menjadi pengingat bahwa cita-cita pembangunan nasional yang berkelanjutan, adil, dan inklusif tidak akan pernah padam — selama ilmu pengetahuan tetap berbicara.
Penulis: Tim/Rilis
